MEWUJUDKAN KEBIJAKAN PERTANIAN PRO PETANI
Penulis : Patriawati Narendra, S.KM, M.K.M
Petani harus dilindungi dan tidak boleh menderita karena sebuah kebijakan. Ada
banyak ragam masalah dan tantangan dalam di sektor pertanian, baik kebijakan yang
tumpang tindih, luas tanam yang kecil (terkait pertanian rakyat kecil dengan kepemilikan
lahan), kelangkaan pupuk, serangan hama, gagal panen, impor saat sedang panen,
pemburu rente (tengkulak), oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangannya
(korupsi bantuan pertanian misalnya), harga yang jatuh saat panen raya sehingga
petani tidak memiliki motivasi lagi menanam karena ongkos produksi lebih besar dari
pada harga jual. Dan persoalan terus berulang setiap tahunnya.
Dalam Rakernas Pembangunan Pertanian pada 11 Januari 2021, Presiden Joko
Widodo menekankan bahwa komoditas pangan yang masih impor dalam jutaan ton
seperti kedelai, jagung, bawang putih, beras dan lain-lain patut di evaluasi. Dalam
sejarah Indoenesia, impor masih menjadi solusi atas kekurangan produksi dalam
negeri. Dalam jangka panjang, impor, hanya akan membuat petani kita tidak bergairah
lagi bertani dan kedaualatan bangsa kita menjadi terancam. Karena itu, menjadi relevan
ketika optimisme “swasembada pangan” dari pemerintah dibangun atas kesadaran
rentannya ketahanan pangan nasional. Hal ini pula (salah satu) yang mendasari
terbitnya Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.
Badan ini akan menyelenggarakan fungsi koordinasi, perumusan, penetapan, dan
pelaksana kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan, penganekaragaman
konsumsi pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan
pangan pemerintah melalui BUMN pangan; dan lain-lain (lihat, Pasal 3).
Pertanian pangan Indonesia masih bertumpu pada teknologi konvensional dan
kurang inovasi, lebih mengandalkan sumber daya alam (natural resources based
innovation). Lambannya perkembangan teknologi dan inovasi menyebabkan tingkat
produktivitas dan daya saing produk pangan Indonesia masih rendah. Hal yang sama
terjadi pada industrialisasi pertanian dimana selama puluhan tahun terjebak pada logika
keliru. Hal ini disebabkan karena industrialisasi manufktur menggusur capaian
pertanian. Seharusnya pertanian yang telah ada didorong untuk mendukung
industrialisasi yang terjadi bukan sebaliknya. Pertanian dijadikan material dasar bagi
industrialisasi sehingga menjadi semakin mantap dan memiliki nilai tambah.
Selama orde baru dan pasca reformasi pembangunan kita masih bias urban,
sebagaimana dikatakan Michael Lipton (1977) bahwa urban bias (bias perkotaan) salah
satunya ditandai dengan adanya kebijakan politik pangan murah (rice premium policy)
yang dibayar oleh urban areas dalam wujud subsidi harga pangan bagi wilayah
perkotaan. Salah satu buktinya adalah penentuan HPP yang urban bias. HPP
mengakibatkan keseragaman harga baik di kota maupun desa dan ongkos padi ketika
digiling menjadi beras, harga ditingkat konsumen bisa ditekan sehingga yang untung
adalah masyarakat perkotaan. Pemerintah membeli dalam bentuk gabah sehingga nilai
tambah ketika berubah menjadi beras tidak diperoleh oleh petani, tetapi pengusaha
yang berasal dari kota.
Yang Harus Dilakukan
Untuk mengurai berbagai persoalan demikian, maka diperlukan perubahan cara
pandang. Mengutip Harbrinderhit Singh Dillon (1999) bahwa diperlukan reformasi yang bersifat paradigmatis di bidang pertanian. Artinya pertanian harus diarahkan pada
kebijakan berbasis people driven. Selama ini, petani kurang diberi keleluasaan untuk
mengembangkan diri. Disinalah diperlukan kebijakan yang bisa membuat petani
berkembang dan mandiri. Kebijakan pemerintah diarahkan pada tersedianya ‘ruang’
bagi petani untuk bisa menerapkan teknologi tepat guna, inovasi teknologi pangan
sangat mendesak untuk dilakukan, dan memberdayakan petani sehingga mereka tidak
perlu melawan arus atau berseberangan dengan program pertanian pemerintah.
Sosialisasi (perihal kebijakan) perlu secara serius dan berkala dilakukan.
Terkait platform industrialisasi pertanian harus diubah. Industrialisasi tidak hanya
untuk menyuplai sektor pertanian tetapi mengembangkan produk-produk pertanian
sehingga memiliki added value. Hal ini penting dilakukan agar variasi produk pertanian
tidak hanya beragam tetapi produk yang dihasilkan juga memberikan keuntungan
ekonomi (kesejahteraan) petani.
Terkait penentuan HPP bukanlah perkara mudah karena banyak variabel yang
harus diperhitungkan. Apabila seluruh variabel yang mempengaruhi penentuan HPP
dikumpulkan maka tidak akan ada angka yang tepat untuk semua daerah. Oleh karena
itu, yang harus dilakukan adalah menentukan HPP sesuai dengan kemampuan dan
tingkat harga yang paling masuk akal bagi daerah yang bersangkutan. Konsekuensinya
HPP setiap daerah bisa berbeda-beda.
Aspek teknis juga bisa dikembangkan dengan mengembangkan pertanian yang
berkelanjutan (agro ekologi). Pertanian berkelanjutan adalah pertanian dengan input
rendah (mengurangi penggunaan pupuk dan obat kimia), kombinasi teknologi ramah
lingkungan dan tenaga kerja manusia, dan inovasi dalam proses produksi pertanian.
Saat ini mulai berkembang teknologi pertanian organik, akan tapi model pertanian ini
masih dianggap berbiaya tinggi. Alternatif yang paling masuk akal adalah memberikan
peluang bagi petani untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan yang ramah
lingkungan yaitu penerapan teknologi secara proporsional dan menerapkan teknik
subtitusi yang bisa menghemat biaya selain menghindarkan petani dari kemerosotan
ekonomi.
Dalam jangka pendek, Renstra Kementerian Pertanian 2020-2024 perihal
swasembada pangan harus dieksekusi dengan pendekatan kelembagaan yang kuat
dan tool smart farming. Kementerian teknis juga harus meninggalkan rutinitas, cari
terobosan-terobosan. Selanjutnya dalam jangka panjang regenerasi petani menjadi
penting, karena smart farming membutuhkan SDM yang bisa menjalannkannya.
Sekolah vokasional seperti SMK pertanian perlu diperbanyak. Peran perguruan tinggi
terkhusus fakultas pertanian dan fakultas teknologi dan industri pertanian terutama di
pasca panen sangat penting. Hanya dengan ini, pertanian dan petani kita akan mampu
bersaing (kompetitif).
Komentar
Posting Komentar