MEMPERSIAPKAN SDM PENYANDANG DISABILITAS UNTUK PENGHIDUPAN YANG LAYAK
Penulis : Patriawati Narendra, S.K.M., M.K.M
Penyandang Disabilitas masih dipandang sebelah mata, tidak hanya oleh masyarakat
dan linkungannya, namun juga oleh pemerintah bahkan keluarga. Keterbatasan mereka,
berakibat pada persepsi bahwa mereka adalah kelompok yang lemah dan harus dikasihani.
Apakah mereka tidak memiliki hak dan masa depan cerah sebagai manusia? Dalam
keseharian penyandang disabilitas fisik seringkali dikucilkan. Mulai dari hak mendapatkan
pelayanan pendidikan sampai pada hak mendapatkan pekerjaan termasuk perlindungan,
serta hak akses fasilitas publik seperti transportasi publik yang ramah disabilitas dan lain-
lain.
Merujuk Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 ayat (2) menyebutkan bahwa
setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Untuk
menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia melalui Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang tidak saja menjadi
payung hukum bagi penyandang disabilitas, tetapi menjadi jaminan agar kaum disabilitas
terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.
Secara garis besar, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 mengatur ragam
penyandang disabilitas, hak penyandang disabilitas, pelaksanaan penghormatan,
pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan harapan undang-undang
ini akan memperkuat hak dan kesempatan yang lebih baik bagi penyandang disabilitas.
Mulai dari hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang layak dan
kemudahan mengakses fasilitas umum.
Peluang Kerja
Setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak terkecuali bagi
penyandang disabilitas. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha
milik negara, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari
jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, mewajiban perusahaan swasta untuk
memperkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja.
Ada banyak faktor yang menyebabkan, para penyandang disabilitas tidak mendapat
kesempatan untuk bekerja. Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (2004) menyebutkan
penyebab perusahaan tidak memperkerjakan penyandang disabilitas, karena perusahaan
tidak memiliki informasi yang cukup mengenai bagaimana perusahaan dapat merekrut
tenaga kerja penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas yang memiliki
keterampilan yang sesuai kebutuhan perusahaan.
Selain itu, masih terdapat persepsi yang salah mengenai tenaga kerja penyandang
disabilitas yang dianggap sebagai beban perusahaan. Padahal menurut laporan yang dirilis
ILO (2011), mengabaikan potensi produktif penyandang disabilitas didunia kerja
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan negara. ILO memperkirakan sebanyak 3
hingga 7 persen produktifitas penyandang disabilitas memengaruhi PDB nasional.
Bahkan menurut beberapa penelitian menyebutkan bahwa pengelolaan tenaga kerja
bagi penyandang disabilitas jika dilaksanakan dengan baik akan memberikan pengaruh
besar bagi kemajuan perusahaan, baik melalui peningkatan loyalitas karyawan, peningkatan
citra perusahaan, perluasan pasar, serta penurunan tingkat absensi dan turnover karyawan.
Mempersiapkan SDM
Meski telah memiliki payung hukum, diskriminasi masih terjadi bagi penyadang
disabilitas fisik. Salah sektor yang rawan diskriminasi itu adalah pendidikan. Sekedar contoh
pada Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri misalnya masih mencantumkan calon
mahasiswa disyaratkan tidak tuna netra, dan lain-lain. Akibatnya, penyandang disabilitas
banyak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Padahal Pasal 10 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2016, menyebtukan penyandang
disabilitas berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Hak tersebut meliputi hak untuk
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu
disemua jenis, jalur dan jenjang pendidikan. UU ini juga (Pasal 40) mengamanatkan pada
pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan
untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
kewenangannya.
Artinya dari sisi aturan, amanat pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas
sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 15 dan Pasal 32, menyebut pendidikan khusus merupakan
pendidikan untuk perserta didik yang berkelainan atau yang memiliki kecerdasan luar biasa
yang diselenggarakan secara inklusi baik pada tingkat dasar maupun menengah. Yang
menjadi permasalahan adalah pelaksanaannya dilapangan, masih banyak diskriminasi.
Perlu dipahami bahwa pendidilkan inklusi merupakan sistem layanan pendidikan
dengan memberikan kesempatan penyandang difabel untuk sekolah umum dan dikelas
reguler. Dengan pendidikan inklusi, mereka dapat belajar bersama dengan aksesbilitas yang
mendukung untuk semua, tanpa terkecuali. Dengan adanya pendidikan inklusi, mereka
memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabiltas melalui pendidikan inklusi
telah pula dirasakan masyarakat di daerah. Sejumlah pemerintah daerah sudah banyak
menyelenggarakan pendidikan inklusi. Bahkan, ada beberapa kota yang mendeklarasikan
sebagai kota inklusi.
Hasil penelitian yang dilakukan Eta Yuni Lestani, 2017 di Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah misalnya, menyebutkan penyandang disabilitas sudah mendapatkan fasilitas
pendidikan, mulai pendidikan Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas. Hanya
saja, dalam upaya memenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas ada sejumlah
persoalan yang dihadapi. Salah satunya, tidak adanya Balai Rehabilitas milik pemerintah,
terbatasnya anggaran yang tersedia untuk penyandang disabilitas, dan terbatasnya sumber
daya manusia yang kompeten. Di sekolah, insfratruktur untuk penyandang disabilitas juga
masih terbatas. Terakhir, tantangan kedepan dan ini paling sering terjadi adalah kurikulum.
Kurikulum sekolah inklusi seperti materi, metode, dan sistem evaluasi belajar masih
diskriminatif terhadap anak penyandang disabiltas. Padahal, tanpa adanya penyesuaian dan
akomodasi dalam kurikulum, anak-anak penyandang disabiltas akan kesulitan dalam
mengikuti proses belajar.
Upaya peningkatan inklusivitas penyandang disabilitas yang menyeluruh pada setiap
aspek penghidupan, meliputi beberapa arah kebijakan. Antara lain pada peningkatan
advokasi peraturan dan kebijakan di tingkat pusat dan daerah, pengembangan kapasitas
tenaga kerja pelayanan publik, pengembangan perlindungan sosial melalui skema manfaat
bagi penyandang disabilitas miskin berbasis keluarga dan tentunya sosialisasi, edukasi, dan
pengarusutamaan di tingkat masyarakat. Dan tentunya dalam pembangunan insklusi
disabilitas, pengusungan prinsip-prinsip aksesibilitas, partisipasi dan juga anti diskriminasi
harus terus diperkuat.
Komentar
Posting Komentar