RESENSI BUKU SARINAH "KEWAJIBAN WANITA DALAM PERJUANGAN REPUBLIK INDONESIA"
Judul Buku : Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
Penulis : Ir Soekarno
Penerbit : Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno
Terbit : 2019 (Cet 2)
Tebal : 336 halaman
ISBN : 978-602-5752-21-6 (Soft Cover)
Gender Gap dan Impian Kesejahteraan Sosial
Ditulis oleh : Patriawati Narendra, S,KM, M.K.M
Tentu ada yang bertanya-tanya, mengapa judul buku ini ‘Sarinah’?. Sukarno
menggunakan nama ‘Sarinah’ sebagai tanda terima kasih kepada pengasuhnya semasa kecil.
“Mbok” begitu Sukarno memanggilnya. Sarinah juga telah banyak membantu ibu Sukarno.
Dari Sarinah, Sukarno banyak mendapat pelajaran mencintai ‘orang kecil’.
Menurut Sukarno, Sarinah adalah ‘orang kecil’ tetapi budinya besar! Semoga Tuhan
membalas kebaikan Sarinah itu! Sukarno sendiri semasa menjadi Presiden telah
mengabadikan nama Sarinah menjadi nama gedung pusat perbelanjaan pertama
di Indonesia.
Buku ini seharusnya terbit sebelum Indonesia merdeka, namun karena kondisi yang
tidak kondusif membuat penyelesainnya mundur 2 tahun setelah Indonesia merdeka, tahun
1947. Sementara muatan materi dalam buku ‘Sarinah’ ini adalah pengembangan dari bahan-
bahan “kursus wanita” yang diadakan tiap 2 pekan di Yogyakarta. Lazimnya penulisan karya
buku, biasanya ada yang turut membantu dalam penyelesaiannya dan sosok yang terlibat
dalam penulisan buku ini adalah Mualiff Nasution.
Buku ‘Sarinah’ walaupun tidak semonumental buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’
atau buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’ buku ini mampu mengungkap banyak hal tentang
perempuan saat itu yang kemudian menjadi dasar pembelaan Sukarno atas posisi
perempuan Indonesia -- konteks pelibatannya dalam proses pembangunan negara seperti
Sukarno ungkapkan “kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun
masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita”.
Bagi Sukarno persoalan perempuan adalah suatu soal masyarakat yang sangat
penting sebagaimana ia mengutip Sabda Nabi Muhammad bahwa “Perempuan itu tiang
negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah
negeri” (hal 10).
Buku ini menceritakan bagaimana wanita bangsa-bangsa Indonesia sebelum
kemerdekaan dan apa yang harus dilakukan wanita Indonesia setelah merdeka. Kita tahu
gender gap telah terjadi selama ratusan tahun dan sampai hari ini pun masih terjadi
(sebagian) dengan bentuk yang berbeda.
Kegundahan Sukarno, selain pembelajaran hidup dari Mboknya Sarinah, kunjungan
Sukarno bersama teman dan istrinya kesalah seorang kenalannya yang memiliki toko
klontong cukup membekas. Saat istri kawan Sukarno bertanya bagaimana keadaan nyonya
rumah? Tuan rumah mulai nampak malu dan sekedar menjawab bahwa ia dalam keadaan
baik-baik saja, namun sedang tidak dirumah karena menengok bibinya yang sakit. Tak lama,
Sukarno yang duduk berhadapan dengan kain tabir dipintu yang memisahkan toko klontong
dengan rumah melihat kain tabir bergerak dan mata seorang perempuan yang mengintai!.
Kejadian tersebut membuat Sukarno berpikir bahwa perempuan yang mengintai tadi adalah
istrinya tuan rumah. Kejadian yang serupa dijumpai juga ketika Sukarno mempunyai kawan-
-seorang guru sekolah di Bengkulu, guru tersebut mempunyai seorang istri yang sangat
dicintainya dan sang istri terkadang mengeluh pada Sukarno bahwa ia merasa terkurung.
Lalu Sukarno menganjurkan kepada kawannya agar memberikan kemerdekaan secukupnya
kepada sang istri. Namun, kawan itu menjawab justru karena sangat mencintai dan
menjunjung tinggi istrinya sehingga ia tidak mengizinkannya keluar rumah. Dari sini Sukarno
menarik premis dengan mengutip Prof Havelock Ellis bahwa kebanyakan laki-laki
memandang wanita sebagai suatu campuran antara seorang dewi dan seorang tolol (hal 6).
Soekarno menyadari betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia bila
dianggap ‘tidak ada’. Sukarno sebenarnya bukanlah seorang pecinta matriarchat (peribuan)
akan tetapi ia adalah seorang pecinta patriarchat (perbapaan). Maka dari itu, pergerakan
perempuan yang dituliskan Soekarno adalah bukan bentuk perlawanan terhadap patriarkat
akan tetapi untuk merebut kemerdekaan atas hak-hak yang seharusnya dimiliki seorang
perempuan.
Soekarno lalu mengutip pemikiran Henriette Roland Holst bahwa dilema perempuan
saat harus memilih peran sebagai ibu atau sebagai pekerja. Sukarno dengan lantang
menentang pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja
perempuan dengan laki-laki dengan tidak mengingat lagi bahwa kodrat perempuan memang
tidak sama dengan kodrat laki-laki (hal 7). Sukarno justru setuju dengan gagasan Ki Hadjar
Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara
modern, meski jangan pula terikat oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan segala hal
sesuai dengan kodratnya (hal 8).
Soekarno mengingatkan kita semua, dimana soal masyarakat dan negara adalah soal
laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan soal laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu
soal mayarakat dan negara. Bukankah Yunani jatuh karena perempuan dihinakan.
Begitupula Nazi Jerman jatuh karena perempuan hanya dianggap baik buat Kleider-Kinder.
Semenjak budaya masyarakat Islam (bukan agama Islam)! kurang menempatkan perempuan
pada tempat yang seharusnya maka kultur Islam pun mengalami kemunduran (hal 16)
Soekarno juga mengutip Charles Fourrier bahwa tinggi rendahnya kemajuan suatu
masyarakat adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan didalam
masyarakat itu dan mengutip Baba O’llah bahwa laki-laki dan perempuan adalah sebagai
dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka burung itu akan
terbang sampai setinggi-tingginya; jika salahsatunya patah tak dapat terbang (hal 17).
Masifnya gerakan perempuan saat ini, tidak terlepas dari ide, gagasan, pemikiran
dan peran politik Sukarno. Itu sebabnya sejak awal perjuangannya Sukarno sudah
menyadari bahwa kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa adanya keterlibatan
perempuan di dalamnya, dan untuk mengisi kemerdekaanpun tak dapat diwujudkan tanpa
perjuangan dan peran perempuan.
Ketidakadilan yang dialami perempuan bukan saja dalam sosial ekonomi dan politik
namun juga dalam hubungan seks, ia masih tertindas. Ketika terjadi hubungan seks diluar
nikah (perzinaan), maka masyarakat akan menghakimi perempuan, laki-laki selamat dari
sangsi sosial. Perempuan masih dominan menanggung beban sosial karena akan dituding
sebagai orang amoral. Jadi ada perlakuan tidak adil (hal 20).
Bagi Sukarno, perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah tujuan kodrat seperti
perbedaan tubuh (fisik), psikis maupun jiwa. Namun dalam hal tingkat kepandaian
sebagaimana pengalaman Sukarno ketika menjadi murid di H.B.S, justru seringkali murid
laki-laki “payah” dibandingkan dengan perempuan dan malahan lebih sering kalah dari
perempuan. Begitupula saat Sukarno menjadi Guru di sekolah menengah mendapati murid
perempuan tidak kalah dari murid laki-laki. Sukarno kemudian mengutip Profesor Freundlich
(tangan kanan Profesor Einstein didalam ilmu bintang) yang pada tahun 1929 mengunjungi
Indonesia dan seorang guru besar di sekolah tinggi Istambul yang menerangkan bahwa
siswa-siwa perempuan tak kalah dengan laki-laki (hal 25).
Soekarno menegaskan Indonesia membutuhkan suatu masyarakat yang sehat dimana
tidak ada pihak menindas pihak lain, tak peduli pihak yang mana yang menindas dan pihak
mana yang tertindas. Mayarakat yang sehat adalah perimbangan hak dan perimbangan
perlakuan antara laki-laki dan perempuan, yang sama beratnya dan sama adilnya (hal 39).
Sukarno mengakui kalau dirinya pecinta “patriarki” tetapi patriarki yang dikehendakinya
adalah patriarki yang adil, suatu patriarki yang tidak menindas kepada perempuan.
Penindasan laki-laki tidak boleh tidak, niscaya akan membangkitkan gerakan yang
berusaha menghapus penindasan. Itu sudah hukum alam, tetapi ada hukum alam juga
dimana kesadaran dan kegiatan sesuatu pergerakan “berevolusi”. Sukarno kemudian
mengajak kita melihat keadaan perempuan Barat dimasa lalu. Semboyan “perempuan
bersatulah” Bahkan dari mulut perempuan Barat pula bernama Katharina Brechkovskaya
terdengar seruan “hai wanita Asia, sadar dan melawanlah”! (hal 149).
Sebagaimana para pemikir di fase awal kemerdekaan Indonesia, Sukarno tidak
berniat mengajak pembacanya untuk mengadopsi atau menelan mentah-mentah konsep-
konsep ‘impor’ dari manapun. Termasuk soal posisi perempuan.
Sukarno mengungkapkan, bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu tidak
memuaskan karena tidak memberi “pemecahan soal” malah sering menjadi lawan dalam
perjuangannya untuk memecahkan soal. Mereka, wanita rakyat jelata mencari
kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Dan dalam
usaha mereka mencapai kemerdekaan sosial ini, sering kaum feminis tidak berdiri disamping
mereka melainkan berhadap-hadapan dengan mereka, menentang - melawan mereka (hal
198).
Tak jarang pergerakan feminisme seringkali menimbulkan permasalahan yang
disebabkan oleh penyimpangan feminisme. Feminisme menuntut adanya persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki dan terkadang penyimpangan muncul dengan meluaskan
konteks dari persamaan hak itu sendiri, yaitu persamaan mengenai fisik, pakaian, dan
lainnya. Hal yang kemudian sangat dihindari Sukarno. Itu sebabnya Sukarno
menitikberatkan bahwa untuk penerapannya di Indonesia harus disaring, mengambil
positifnya.
Setelah Indonesia merdeka, Sukarno terus menyuarakan dan mengajak perempuan
Indonesia dengan menyerukan “tiada kemenangan revolusioner jika tiada wanita
revolusioner dan tiada wanita revolusioner jika tiada pedoman revolusioner” (hal 254).
Sukarno menginginkan agar revolusi segera berakhir agar negara bisa dibangun maka
semua golongan-termasuk perempuan, haruslah bersatu. Dengan mengutip anjuran Ernest
Douwes Dekker janganlah setengah-setengah, berilah jiwa ragamu dalam membangun
negara. Wahai perempuan Indonesia, sadarlah, bangunlah, berjuanglah, bangkitlah sehebat-
hebatnya, sebab sebagai tadipun telah kukatakan, tiada orang lain dapat menolong wanita
melainkan wanita sendiri! (hal 332).
Apa impian yang ingin diraih Soekarno? Berulang-kali ia menyebut ‘kesejahteraan
sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap ‘dipelesetkan’ rezim penguasa sesudahnya
sebagai ‘bukti’ sang proklamator itu cenderung pro-sosialisme dan kekiri-kirian. Namun,
kalau kita kembali mencoba mendalami pemikiran Sukarno dalam buku Sarinah, sebetulnya
Soekarno menghendaki kesetaraan laki-laki-perempuan tanmpa meninggalkan kodrat,
penolakan terhadap penindasan, penolakan terhadap perilaku eksklusif, dan warisan
terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini yaitu kemerdekaan
untuk berpikir.
Soekarno dengan lantang berseru, Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang!
Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika
Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.
Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi
wanita yang bahagia, wanita yang merdeka! (hal 335).
Akhirnya penempatan posisi perempuan di dalam konteks negara telah menjadikan
buku Sarinah menarik untuk ditelaah dan melihat realitas hari ini, mengingat masih sering
ditemui ‘salah kaprah’ bahkan para aktivis perempuan yang masih mempertanyakan
‘perspektif gender’ tanpa melihat konteks, sehingga terkesan asal menuding laki-laki. Di sisi
lain, kita juga wajib prihatin dimana terlihat sejumlah ‘langkah mundur’ dalam
memposisikan perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional misalnya lahirnya
aturan yang membatasi ruang gerak perempuan, masih menempatkan perempuan sebagai
objek seks, dan sebagainya.
Komentar
Posting Komentar