KOMPLEKSITAS PEMILU DAN PILKADA SERENTAK 2024


Penulis : Patriawati Narendra, S.K.M., M.K.M (ditulis 31 Mei 2022)

Pemilu serentak dinilai sebagai mekanisme untuk mengatasi permasalahan sistem presidensil

multipartai. Pemilu presiden dan legislatif secara serentak diharapkan menghasilkan penyederhanaan

partai politik dengan output sistem presidensil lebih kuat. Pandangan ini diperkuat studi Mark Payne

Jones (1994) bahwa waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang dilaksanakan

serentak menjadi faktor penting untuk menghasilkan dukungan legislatif mayoritas terhadap presiden.

Dukungan legislatif terhadap eksekutif tersebut dapat terjadi karena pemilu serentak diharapkan

menghasilkan coattail effect, dimana keselarasan pilihan pemilih antara pilihan presiden dan

memberikan suara pada partai politik pendukung presiden di pemilu legislatif. Coattail effect adalah

pengaruh figur (tokoh) dalam meningkatkan suara partai di pemilu. Calon presiden yang populer

dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada

partai pengusung.


Pemilu 2024 semakin kompleks karena pemilu dan pilkada serentak. Pemilu serentak

dimaksud adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten/Kota 14 Fabruari 2024. Adapun Pilkada adalah pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota pada 27 November 2024.

Walaupun jadwal pemilu ke pilkada berselang 8 bulan, namun akan ada jadwal tahapan pemilu yang

bersamaan dengan tahapan pilkada, sehingga pelaksanaannya akan menjadi kompleks, jika tidak

dimitigasi sejak dini.


KPU dituntut mengurai kompleksitas ini terutama di aspek teknis yang berkaitan dengan

beban kerja agar tragedi naas meninggalnya 722 petugas (KPPS, petugas ketertiban TPS, PPS, PPK)

tidak terjadi lagi. Tantangan KPU sekarang adalah bagaimana menyederhanakan pemilu serentak

sementara kerangka hukumnya tetap sama dengan pemilu 2019 yaitu Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Begitu pula Pilkada masih menggunakan UU Nomor 10

Tahun 2016. Disinilah PKPU harus lebih teliti sebab harus menambal berbagai hal teknis dalam

pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024. Apa-apa persoalan dalam pemilu sebelumnya

terutama 2019 harus diatur dalam PKPU untuk perbaikan yang holistik dalam Pemilu 2024.

Memilih sistem proporsional terbuka menjadi kerumitan teknis tersendiri untuk negara seluas

Indonesia terutama Pileg. Petugas KPPS nantinya tidak hanya menghitung perolehan suara partai, tapi

juga menghitung suara dari masing-masing calon anggota legislative, lalu membuat salinan berita

acara hasil perolehan suara dalam jumlah rangkap yang banyak dan kemudian mengkonversi

perolehan kursi setiap partai.


Disinilah manajemen teknis di TPS menjadi lebih sederhana dengan beban kerja yang tidak

berat dan masih dalam batas kewajaran dapat dirumuskan lebih komprehensif misalnya dengan

menyederhanakan surat suara menjadi dua surat suara untuk pemilu di bulan Februari dan di bulan

November, agar waktu penghitungan suara menjadi lebih singkat dan pengelolaan logistiknya menjadi

lebih ringan. Sampai saat ini rancangan penyederhanaan ini masih terus disimulasikan oleh KPU RI.

Sementara untuk mengurangi beban kerja petugas KPPS dalam menyiapkan salinan berita

acara sertifikat hasil perolehan suara, sarana teknologi diperlukan dengan mengganti salinan fisik

menjadi salinan digital. Penggunaan aplikasi misal Situng dalam pemilu perlu disederhanakan,

sebagai media pengganti salinan dan sebagai sarana publikasi hasil pemilu secara cepat. Jika

penyederhanaan surat suara dapat diterapkan dan salinan berita acara dapat diganti dengan salinan

digital, maka beban kerja petugas KPPS akan berkurang signifikan, serta waktu kerja petugas menjadi

lebih singkat.


Disini KPU sudah punya pengalaman mengelola dua tahapan yakni Pilkada 2018 dan Pemilu

2019. Pengalaman 171 daerah yang melaksanakan Pilkada 2018, penyelenggara mampu

melaksanakan semua tahapannya yang beririsan dengan tahapan Pemilu 2019. Tentu ini bisa di

adaptasi dan terobosan baru sesuai dengan tantangan pemilu dan pilkada serentak 2024. Jika dihitung

jeda waktu hari pemilihan Pilkada tanggal 27 Juni 2018 dengan hari pemilihan Pemilu tanggal 17

April 2019, ada jarak 294 hari. Hanya berbeda 7 hari lebih singkat dari hari pemilihan Pemilu 2024

(diputuskan 14 Februari 2024), dengan hari pemilihan Pilkada Serentak 27 November 2024, ada jarak

280 hari. Bedanya tahun 2024 akan dilaksanakan pemilu lebih dulu, kemudian pilkada, sehingga

tahapan pilkada terutama pencalonan, akan sangat bergantung pada hasil final pemilu DPRD sebagai

dasar dalam pendaftaran calon kepala daerah. Mengantisipasi sengketa pemilu agar tidak berlarut,

koordinasi antar lembaga diperlukan agar ada kesepahaman bersama terkait tahapan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KECERDASAN DAN MINDSET PEMIMPIN MEMPENGARUHI KEMAJUAN NEGARA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

MARI BELAJAR DARI GENERAL ELECTRIC

REPUBLICA DEMOCRATICA de TIMOR LESTE