AYO LIMITASI STUNTING SEKARANG JUGA
Penulis : Patriawati Narendra, S.KM, M. K.M
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama,
umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam
kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita
pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita
dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya
kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Masalah
balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu,
masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah
gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang
secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, sehingga tinggi
anak terlalu pendek untuk usianya. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi dalam kandungan dan
pada masa awal setelah lahir. Namun stunting baru terlihat setelah anak berusia dua tahun. Stunting
berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, dan menurunkan produktivitas.
Jumlah kasus stunting tertinggi umumnya berada di Indonesia bagian timur.
Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus dua standar
deviasi (-2SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada. Stunting pada anak merupakan hasil jangka
panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinaikan dengan morbiditas, penyakit
infeksi dan maslaah lingkungan. Oleh karenanya upaya perbaikan yaitu melalui upaya untuk mencegah
dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah dan
mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi spesifik umumnya
dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70% nya merupakan
kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan,
ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya.
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita
pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari
selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah
merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang
menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai
"window of opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat
buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak
maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang
buruk. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode pertumbuhan dan perkembangan
paling kritis di awal kehidupan. Ini didefinisikan sebagai persentase anak-anak, berusia 0 sampai 59
bulan, yang usianya di bawah minus dua standar deviasi (stunting sedang dan parah) dan minus tiga
standar deviasi (stunting parah) dari median Standar Pertumbuhan Anak WHO.
MENGAPA STUNTING MENJADI PENTING?
Menurut laporan The Lancet’s pada tahun 2008, didunia ada 178 juta anak berusia kurang dari lima
tahun (balita) yang stunting dengan luas mayoritas di South Central Asia dan sub-Sahara Afrika.
Prevalensi balita stunting pada tahun 2007 di seluruh dunia 28,5% dan diseluruh negara berkembang
sebesar 31,2%. Untuk benua Asia prevalensi balita stunting sebesar 30,6%, kejadian ini jauh lebih
tinggi dibanding dengan prevalensi balita stunting di Amrika Latin dan Karibia, yaitu sebesar 14,8%.
Prevalensi balita stunting di Asia Tenggara adalah 29,4%, lebih tinggi dibanding dengan Asia Timur
(14,4%) dan Asia Barat (20,9%). Di Indonesia, trend kejadian stunting pada balita tidak
memperlihatkan perubahan yang bermakna. Data Riskesdas menunjukkan tahun 2010 sebesar 35,6%.
Bila dibandingkan dengan batas “non public health problem” menurut WHO untuk masalah kepedekan
sebesar 20%, maka semua provinsi di Indonesia masih dalam kondisi bermasalah kesehatan
masyarakat.
Prevalensi stunting di Jawa Barat tahun 2007 adalah sebesar 35,4% (balita pendek 19,7% dan sangat
pendek 15,7%) lalu pada tahun 2010 menunjukkan perubahan menjadi 33,7% (balita gizi pendek
17,1%) dan sangat pendek 16,6%. Prevalensi stunting di Kota Depok termasuk dalam masalah
kesehatan masyarakat karena lebih dari 20% yaitu 29%. Hampir 70% pembentukan sel otak terjadi
sejak janin masih dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun.Dilihat dari tingkat keparahannya pada
anak usia 3 tahun stunting severe, jika otaknya mengalami hambatan pertumbuhan, jumlah sel otak,
serabut sel otak dan penghubung sel otak nya berkurang maka akibatnya pada anak laki-laki memiliki
kemampuan membaca lebih rendah 15 point dan perempuan 11 poin dibandingkan dengan yang
normal. Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), prestasi belajar menjadi rendah → tidak
dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi→SDM rendah. Sehingga peluang kerja kecil →
akibatnya penghasilan rendah dan kebutuhan pangan tidak tercukupi.
Dengan demikian menanggulangi stunting pada anak berarti meningkatkan sumber daya manusia.
Sumber daya yang baik akan menciptakan generasi yang baik pula. Disamping itu, dari aspek
estetikanya seseorang yang memiliki tubuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dibandingkan
memiliki tubuh yang pendek.
PENYEBAB STUNTING DI INDONESIA
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan
gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.Beberapa fakta dan informasi
yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain
berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan
untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi
yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran
anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat
akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi
sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang
berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia
Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga
makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013,
SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New
Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya
akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang
mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1
dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan meliputi kesehatan gizi ibu yang buruk, asupan
makanan si Kecil yang tidak memadai, dan infeksi. Secara khusus, hal ini meliputi status gizi dan
kesehatan Ibu sebelum, selama dan setelah kehamilan yang ikut berpengaruh pada pertumbuhan
dan perkembangan awal anak. Faktor lain dari sisi Ibu yang dapat menyebabkan stunting meliputi
perawakan anak yang pendek, jarak kelahiran terlalu dekat, dan kehamilan remaja, yang mengganggu
asupan nutrisi ke janin. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan nutisi untuk pertumbuhan ibu yang
masih remaja. Faktor lainnya dari segi nutrisi meliputi asupan makanan untuk si Kecil yang tidak
memadai, termasuk pemberian ASI yang belum optimal (non-eksklusif ASI) dan makanan pendamping
ASI yang terbatas dalam kuantitas, kualitas dan variasinya.
Masalah gizi buruk kronis (stunting) yang dihadapi masyarakat Indonesia masih parah. Pemerintah akan
melakukan pemantauan gizi pada daerah-daerah dengan jumlah stunting tinggi. "Kami memetakan
kembali mana daerah yang sudah baik, belum baik, dan mana yang butuh perhatian khusus," kata
Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani seusai rapat Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan tentang stunting di Kantor Wakil Presiden, Jalan
Medan Merdeka Utara, Rabu, 12 Juli 2017.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia
mengalami stunting. Dalam tiga tahun terakhir. Namun dalam survei terakhir, kata Nina, jumlah
stunting mengalami penurunan menjadi 27,5 persen. "Tapi dengan pemantauan status gizi," kata Nila.
Nila mengatakan penanganan stunting dilakukan tidak hanya dengan memberikan makanan tambahan.
Tapi juga dilakukan dengan faktor eksternal, misalnya perbaikan sanitasi, dan fasilitas air bersih.
"Kalau tidak ada air bersih, dia juga tidak pernah cuci tangan, ya, cacing jadi ikut masuklah. Kemudian
ibu anemia, atau ibu hamil kurang darah," kata Nila. Menurut Nila, ibu hamil yang kurang gizi akan
menyebabkan anak lahir dengan berat badan rendah. Padahal seribu hari pertama kehidupan sangat
penting bagi perkembangan anak selanjutnya.
Stunting merupakan refleksi jangka panjang dari kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai
dan sering menderita infeksi selama masa kanak-kanak. Anak yang stunting merupakan hasil dari
masalah gizi kronis sebagai akibat dari makanan yang tidak berkualitas, ditambah dengan morbiditas,
penyakit infeksi, dan masalah lingkungan. Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan
keterlambatan perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain itu, juga dapat
menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik, penurunan perkembangan motorik,
rendahnya nilai kognitif dan rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh
menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit jantung koroner, hipertensi,
osteoporosis.
STUNTING PADA BALITA
Anak balita dengan stunting, selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan
yang lebih rendah dari anak balita normal. Selain itu, anak balita stunting lebih mudah menderita
penyakit tidak menular ketika dewasa. Stunting adalah masalah gizi yang cukup signifikan terkait
dengan pertumuhan dan perkembangan si Kecil. Masalah ini mempengaruhi sekitar 162 juta balita di
seluruh dunia, dan 8 juta balita di Indonesia (Riskedas 2013). Terdapat satu dari empat orang anak
balita mengalami stunting.
Keadaan stunting atau balita bertubuh pendek merupakan indikator masalah gizi dari keadaan yang
berlangsung lama. Seperti masalah kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, pola asuh, dan pemberian
asupan makanan yang kurang baik dari sejak si Kecil lahir. Akibatnya, si Kecil tidak tumbuh sesuai
dengan indikator tinggi badan yang ideal sesuai usianya. Balita stunting, selain mengalami gangguan
pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari anak balita normal. Selain itu,
anak balita stunting lebih mudah menderita penyakit tidak menular ketika dewasa dan memiliki
produktifitas kerja yang lebih rendah. Dengan menanggulangi stunting pada si Kecil sejak dini, Ibu
turut meningkatkan kualitas hidupnya di masa depan.
Angka stunting akibat kekurangan gizi di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan indeks Tinggi
Badan per Umur (TB/U), menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 angkanya mencapai
37,2 persen atau sekitar 8,8 juta balita Indonesia mengalami stunting. Stunting pada anak balita
merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi,
kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial
dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan status gizi kronis pada anak balita
tidak sama antara wilayah perkotaan dan pedesaan, sehingga upaya penanggulangannya harus
disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi.
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam
masyarakat. Selain itu, stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu
mengganggu. Mereka yang mengalami kekurangan gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan,
mempunyai tiga resiko, yaitu resiko terjadinya penyakit tidak menular/ kronis, tergantung organ yang
terkena. Bila ginjal, maka akan menderita hipertensi dan gangguan ginjal, bila pankreas maka akan
beresiko penyakit diabetes tipe 2, bila jantung akan beresiko menderita penyakit jantung, dan
seterusnya; bila otak yang terkena maka akan mengalami hambatan pertumbuhan kognitif, sehingga
kurang cerdas dan kompetitif; dan resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan, sehingga beresiko
pendek/stunting, riwayat BBLR, pelayanan kesehatan dan imunisasi, pengetahuan ibu, pola asuh ibu,
tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
ketersediaan pangan dan sanitasi lingkungan.
Komentar
Posting Komentar