REAKTUALISASI KEBANGKITAN NASIONAL UNTUK KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN
Penulis : Patriawati Narendra, S.K.M., M.K.M
Bangsa ini pernah dalam kegelapan, terjajah oleh imperalisme Belanda dalam waktu
yang sangat lama. Sebab Indonesia dijajah harus dilacak jauh ke abad XVI-XVII ketika
feodalisme Eropa surut dan digantikan oleh kapitalisme (Soekarno menyebutnya
‘kapitalisme tua’) yaitu kelas pedagang yang giat berniaga diseluruh Eropa-Barat. Tahun ke
tahun kelas ini makin kuat sampai mencapai kedudukan ‘kuasa pemerintahan’. Eropa
kemudian dirasa tidak cukup untuk memuaskan nafsu mereka sehingga timbulah suatu
stelsel untuk mencari dan menguasai benua lain terutama di bagian timur dan sampailah ke
nusantara.
Segera ketika masuk ke Indonesia, stelsel ini memonopoli ekonomi dengan
kekerasan, menggunakan sistim paksa, membunuh, menghancurkan dan mengadudomba
kerajaan-kerajaan, dan sebagainya. Mereka memaksa rakyat membayar pajak dan membeli
harga komoditas dengan sesuka hati mereka. Rakyat menderita dan dampaknya masih
terasa hingga kini.
Kaum muda terdidik saat itu menyadari betul situasi penderitaan rakyat. Mereka ini
kemudian mendirikan organisasi ‘pembebasan’ bernama Budi Utomo pada 20 Mei 1908,
bermarkas di Jalan Abdulrahman Saleh Nomor 26 Jakarta. Kelak hari bersejarah itu oleh
Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS) sebagaimana
Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.
Kaum muda terdidik itu adalah Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan, Cipto
Mangoenkoesoemo, Gondo Soewarno, Soelaiman, dan sebagainya. Sebagian dari mereka
adalah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).
Merujuk laman resmi Museum Pendidikan Indonesia, ada tiga alasan kenapa Budi
Utomo lahir: Timbulnya paham-paham baru di Eropa dan Amerika seperti nasionalisme,
liberalisme, dan sosialisme; Munculnya gerakan kebangkitan nasional di Asia seperti Turki
Muda, Kongres Nasional India, dan Gandhisme; Kemenangan Jepang atas Rusia yang
menyadarkan negara-negara di Asia untuk melawan barat. Selain alasan tersebut, lahirnya
Budi Utomo juga dianggap sebagai dampak adanya politik etis di tanah Jawa, rakyat
mendapatkan pendidikan sehingga muncul kesadaran akan ketidakadilan, dan hak-hak dasar
sebagai manusia tumbuh dalam pemikiran mereka.
Ide pembebasan rakyat dari cengkraman imperialisme makin terkristalisasi dalam
pertemuan para pemuda nusantara yang dikenal dengan Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Intinya baik Budi Utomo maupun Sumpah Pemuda adalah konsolidasi
kesadaran kolektif rakyat Indonesia atas nasib penderitaan yang ditimbulkan penjajah dan
bergerak untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui pembebasan
(kemerdekaan).
117 Tahun Budi Utomo dan Tantangannya
Tahun ini, 2025, Budi Utomo telah 117 tahun. Ada banyak capain positif bangsa ini
setelah merdeka tahun 1945 namun disana sini juga masih banyak pekerjaan rumah yang
mesti diselesaikan. Ragam masalah dan tantangan ada dihadapan kita.
Disini semangat pergerakan Budi Utomo masih relevan dengan masalah dan
tantangan bangsa ini (intra dan eksternal). Dengan demikian, HARKITNAS tahun ini harus
dimaknai secara kolektif-gotong royong, semangat untuk bangkit dari berbagai masalah-
tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia.
Pertama-tama dan ini sangat urgent, mengingat dalam beberapa tahun terakhir ini,
ada kecenderungan bahkan telah bangkitnya politik identitas-gerakan politik berbau agama-
sara, kita pertahankan dan perkuat NKRI sebagai pilihan akhir bangsa Indonesia. Satu-
satunya pasal dalam UUD 1945 yang merupakan pasal yang tidak boleh diubah adalah pasal
1 ayat [1] berdasarkan pasal 37 ayat [5] “Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Pasal 1 ayat [1] berbunyi: Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Kedua, pertahanan keamanan. Di tengah gelombang globalisasi dan politik
hegemoni negara-negara maju disertai makin ekpansifnya kapitalisme modern, kita harus
memiliki TNI POLRI yang tangguh dan modern. Untuk itu, pertahanan nasional dan
keamanan nasional Indonesia memerlukan perangkat keras, perangkat lunak, dan
persenjataan modern. Disamping itu, upgrade pengetahuan dan skill menjadi keharusan. Dan
tentu dukungan kesejahteraan para personil harus memadai. Dengan demikiann, APBN
harus mengatur dengan jelas dan tegas anggaran untuk kedua lembaga strategis ini,
sehingga kedepan lebih mampu lagi menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan nasional.
Ketiga, kualitas pendidikan bangsa Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan
bangsa-bangsa lain, terdekat saja seperti Singapura dan Malaysia. Misalnya daya saing
lulusan kampus, ataupun peringkat kampus-kampus kita di level internasional sangat
tertinggal. Dalam kaitan ini, sebuah ironi dan sulit dipahami apalagi sejak kucuran dana
pendidikan 20 persen sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 ayat [4] UUD 1945 “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dengan ketentuan konstitusi seperti ini wajar bila masyarakat, terutama mereka
yang tergolong kelas menengah ke bawah dan ini adalah mayoritas bangsa kita -
mengharapkan biaya pendidikan yang lebih murah bagi anak-anaknya. Namun justru
sekarang ini kebanyakan orang tua mengeluh dengan makin mahalnya biaya pendidikan.
Padahal sangat jelas pendidikan adalah kunci pembangunan SDM. Bangsa yang maju harus
memiliki SDM yang berkualitas - pendidikan adalah indikator terpenting dari kekuatan suatu
bangsa.
Keempat, tingkat kesehatan rata-rata warga negara kita juga masih tertinggal
meskipun trendnya membaik. Penyebabnya adalah buruknya gizi terutama pada anak-anak
dan ibu yang mengandung. Tingkat kematian ibu yang melahirkan juga masih tinggi.
Generasi muda kita sudah mengalami kelemahan fisik sejak dari kandungan ibunya.
Pelayanan imunisasi, persalinan dan sanitasi belum mewujudkan percepatan yang memadai.
Tidak sulit memahami kaitan antara kesehatan dan kecerdasan suatu bangsa. Bangsa yang
sehat adalah bangsa yang cerdas dan demikian juga sebaliknya.
Kelima, kelompok marhaen yang masih terpojok, jauh dari sejahtera. Hal ini sebagai
dampak kebijakan ekonomi yang pada hakekatnya masih merugikan para petani sebagai
komponen terbesar bangsa Indonesia. Penulis menegaskan bahwa tidak bijak bila petani
kita tidak memperoleh perlindungan di era globalisasi dan liberalisasi dewasa ini. Negara-
negara maju pun tidak malu-malu memproteksi nasib petani mereka. Maka paling tidak
pemerintah harus mengupayakan agar petani dapat menjual produknya diatas biaya
produksi yang telah dikeluarkan.
Di samping petani, kaum pekerja (termasuk tenaga kerja di luar negeri) sebagai bagian tubuh
bangsa ini juga masih menderita. Mulai dari gaji yang kurang layak, perlakuan kekerasan dari
pemberi kerja (termasuk kekerasan seksual). Pekerjaan rumahnya sekarang adalah
bagaimana merombak cara penggajian berdasarkan upah minimum regional, Mungkinkah
upah minimum itu diganti dengan upah maksimum yang dapat diberikan para majikan
dengan menjadikan komponen upah sebagai komponen terpenting dari proses produksi?
Selanjutnya bagaimana menciptakan sistem pengawasan yang ketat pada pekerja kita
utamanya di luar negeri, dan seterusnya.
Keenam, makin masifnya korupsi. Telah terjadi kolusi antara para pelaku korupsi
kaliber kakap dengan aparat penegak hukum. Namun bila ada keberanian dan ketegasan,
memberantas korupsi bukanlah perkara mustahil. Oleh karenanya, diperlukan kemauan
politik dari partai (terutama para ketua umum partai) dan pemerintah untuk berkomitmen
pada pemberantasan korupsi dengan pendekatan pencegahan dan penegakan hukum.
Ketujuh, untuk membangun perekonomian nasional yang tangguh, tentu dibutuhkan
konsep dan program pembangunan ekonomi nasional yang terukur dan menomorsatukan
kepentingan bangsa. Ekonomi Pancasila (Kerakyatan) sudah saatya di aktualisasikan secera
penuh. Kurangi ketergantungan pada utang, sekalipun dalihnya untuk pembangunan.
Bangun tata kelola dengan manajemen dan personalia yang mempuni sehingga kekayaan
sumber daya alam kita bisa dinikmati sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia. Meskipun
kita menyadari tidak sepenuhnya bisa melawan liberalisasi beserta proses turunannya
berupa deregulasi dan privatisasi, namun kepentingan nasional harus tetap menjadi
prioritas. Tidak boleh kita tergantung pada impor pangan dan energi misalnya, dan
sebagainya.
Dan sudah saatnya, kita menata konglomerasi UMKM sehingga dapat tumbuh
berkembang dan berkontribusi lebih besar lagi untuk PDB. Sektor informal perlu lebih
diperhatikan karena ternyata disanalah kita temukan pelaku-pelaku ekonomi yang kedap
terhadap goncangan-goncangan finansial regional dan internasional seperti yang terjadi
baru-baru ini (Pandemi Covid 19). Hanya lewat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi kita
dapat mengurangi pengangguran terbuka dan terselubung.
Kedelapan, perubahan iklim. Manusia telah membunuh lingkungan alam, dengan
merusak hutan, penggunaan pestisida-pupuk kimia yang berlebihan, ekspansi energi fosil
dan lain-lain. Jika ini tidak segera diatasi maka akan sangat berdampak pada produksi
pangan, air bersih yang tercemar dan beragam penyakit.
Kesembilan, persoalan sosial, ekonomi dan politik di Papua harus secara tegas, arif
dan adil penyelesaiannya terutama dalam menjaga keselamatan warga sipil, juga aparat TNI
dan bahkan tenaga medis yang dalam dua tahun terakhir ini korbannya meningkat. Khusus
merespon gerakan pencarian dukungan keluar negeri oleh gerakan Papua Merdeka dimana
mereka melakukan internasionalisasi masalah domestik harus kita hentikan.
Kesepuluh, ketidakadilan gender. Mulai dari kekerasan fisik dan pelecehan,
tersubordinasi di ranah politik, stereotype, beban ganda, dan sebagainya. Perempuan yang
seharusnya memiliki hak yang sama dengan laki-laki, kenyataannya budaya patriarki
masih sering terjadi. 80 tahun kita merdeka, perempuan Indonesia masih belum merdeka
sepenuhnya, sebagaimana premis Soekarno dengan mengutip Prof Havelock
Ellis bahwa ketidaksesetaraan gender disebabkan kebanyakan laki-laki memandang wanita
sebagai suatu campuran antara seorang dewi dan seorang tolol (lihat buku Sarinah hal 6).
Ketidaksetaraan ini membuat perempuan termarginalisasi.
Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi kesepakatan kedua pihak (laki-laki
perempuan) didalam pembagian tugas dan kedua belah pihak memiliki kesempatan yang
sama untuk melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi kebutuhan bemasyarakat dan
mengembangkan diri.
Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan (diskriminasi) perlakuan
dalam akses, partisipasi, kontrol dalam menikmati hasil pembangunan antara laki-laki dan
perempuan. Dan juga tidak adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan
didalam pembagian peran, tanggung jawab, hak, kewajiban serta fungsi sebagai anggota
keluarga maupun masyarakat yang akhirnya tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam Laporan World Economic Forum (WEF) tentang Global Gender Gap Report
2022 dengan mengkaji ketimpangan gender di empat bidang: pemberdayaan politik,
partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, serta kesehatan dan kelangsungan
hidup maka secara umum Indonesia mendapat skor indeks ketimpangan gender 0,697 dan
berada di peringkat ke-92 dari 146 negara. Nilai ini meningkat sebanyak 0,009 dari 0,688
pada 2021. Tahun lalu Indonesia masih berada di peringkat ke-101. Jika merinci elemen
pembentuk indeksnya, skor Indonesia terbebani oleh indeks pemberdayaan
perempuan dalam politik masih rendah hanya 0,169 atau di bawah rata-rata global.
Kemudian partisipasi dan kesempatan ekonomi skornya hanya 0,674 atau berada di kisaran
rata-rata global. Sedangkan bidang pendidikan serta kesehatan Indonesia mendapat skor
hanya 0,97, namun masih berada di kisaran rata-rata global.
Kembali Pada Pancasila Secara Murni dan Konsekuen
Tantangan bangsa ini memang demikian banyak. Dimomen Kebangkitan Nasional
tahun ini, maka saatnya meruntuhkan ego individu-kelompok untuk bergotong royong
membangun Indonesia. Semangat pergerakan Budi Utomo 1908 harus terus dirawat,
dijalankan sesuai dengan semangat zaman, tantangan bangsa hari ini. Agar cita-cita
pergerakan Budi Utomo yang kemudian diterjemahkan dalam konstitusi (UUD 1945) sebagai
janji kemerdekaan, cita-cita reformasi, maka sudah saatnya Pancasila dijalankan secara
murni dan konsekuen. Seluruh sila Pancasila dijalankan, tidak setengah-setengah.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2025.
Bangkitlah pemuda Indonesia.!!!
Bangunlah persatuan dan nasionalisme pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar