PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI
Penulis : Patriawati Narendra, S.KM, M.K.M
Pendidikan adalah hak setiap orang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun
1945 di pasal 28C ayat 1 diterangkan bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan teknologi demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Dipertegas lagi di
pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; ayat 3 pemerintah
mengupayakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan Undang-Undang (UU).
Kata ‘menyelenggarakan’ pendidikan dalam era otonomi daerah mendapatkan
pembagian kewenangan, dimana pemerintah daerah kabupaten menjadi penyelenggara dan
penanggungjawab pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjut Tingkat
Pertama (SLTP) dengan tetap mengacu pada aturan yang lebih tinggi diatasnya. Artinya tidak
boleh suatu Peraturan Daerah (Perda) penyelenggaraan pendidikan bertentangan dengan
Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, Peraturan Perundang-undangan tentang
Pendidikan, dan tentunya Pancasila sebagai sumber tertib hukum nasional.
Kewenangan pemerintah daerah sesuai amanat UUD 1945 pasal 18 ayat 6 bahwa
Pemerintah Daerah berhak menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan otonomi telah membuat
pemerintah kabupaten berlomba-lomba membuat Perda dengan berbagai tujuan.
Sayangnya banyak ditemukan Perda seperti aturan daerah tentang pendidikan yang
bermasalah seperti diskriminasi, tidak demokratis, memberatkan masyarakat yang
berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Dibeberapa wilayah, ditemukan Perda misalnya tentang Pendidikan Keagamaan
dimana bagi calon peserta didik beragama Islam, untuk dapat melanjutkan ke lembaga
pendidikan umum setingkat SLTP/sederajat diharuskan memiliki ijasah kelulusan dari
penyelenggara Madrasah Diniyah Takmilyah (MDT). Persyaratan ini kemudian dijadikan
sebagai poin khusus dalam persyaratan PPDB sehingga kebijakan tersebut dinilai tidak adil,
diskriminatif dan bertentangan dengan aturan diatasnya.
Padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan pada
pasal 4 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
Akibat Perda diskriminatfi banyak anak-anak para penghayat tidak bisa masuk dalam
Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) di SLTP negeri. Padahal pendidikan untuk penghayat
kepercayaan telah diatur dalam Permendikbud No 27 Tahun 2016 tentang Layanan
Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Bahkan
diperkuat juga dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi No 97 Tahun 2016 yang
mengakomodir hak-hak sipil penghayat kepercayaan. Hal serupa juga bisa dialami siswa
alumni SD misalnya Muhammadiyah seperti yang terjadi di Tegal tidak bisa mendaftar di
SLTP negeri karena terkendala Ijazah MDT. Padahal sesuai dengan dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
pasal 15 yaitu pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang
bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Artinya siswa SD Islam sudah otomatis
mendapat MDT karena kurikulum SD Islam sudah mencakup pelajaran MDT.
Mengutip Jauhariah (2016) bahwa Perda diskriminatif jelas bertentangan dengan
prinsip yang menjiwai HAM yaitu prinsip kesetaraan bahwa semua orang terlahir bebas dan
memiliki kesetaraan, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan sama dan pada
situasi yang berbeda diperlakukan berbeda pula; prinsip pelarangan diskriminasi bahwa
kalau semua orang dianggap setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif
disamping tindakan afirmatif dalam rangka mencapai kesetaraan.
Pada dasarnya diskriminasi merupakan kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan
yang seharusnya sama atau setara.Perda Pendidikan Diskriminatif Perlu Dievaluasi Dapat
dikatakan kalau Perda tentang Pendidikan Keagamaan layak untuk di evaluasi di revisi atau
di cabut. Sebagaimana pendapat ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM, Oce
Madril, M.A yang menyebutkan bahwa suatu Perda layak dicabut apabila tidak memiliki
kesesuaian lagi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Menurut Oce Madril
banyak Perda dibatalkan karena secara jelas rumusannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Disini peran Badan Pembinaan Ideologi Panacasila/BPIP (dahulu
UKP-PIP/Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang dibentuk tahun 2018)
menjadi sangat penting dan memang dalam pasal 10 Peraturan BPIP No 5 Tahun 2020
tentang Pedoman Pemberian Rekomendasi Terhadap Kebijakan dan Regulasi Yang
Bertentangan Dengan Pancasila, BPIP melakukan kajian yang kemudian hasilnya diberikan
kepada para pihak terkait dalam kasus Perda pendidikan diskriminatif tadi Kementrian Dalam
Negeri (Kemendagri) setelah mendapat hasil kajian BPIP bisa melakukan klarifikasi kepada
pemerintah daerah. Ujungnya, bisa direvisi hingga pembatalan. Kembali Pada
Pancasila Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam pembuatan Perda dapat dilakukan sejak
proses awal sampai akhir, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan penetapan.
Pada tahap perencanaan misalnya, penerapan tersebut dapat dilakukan dengan memastikan
arah pengaturan di dalam dokumen perencanaan apakah sudah sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila. Secara teknis perancangan Perda, selain dalam rumusan pasal-pasal, nilai-
nilai Pancasila dapat juga dimasukkan ke dalam Perda melalui konsideran
menimbang, khususnya pada bagian yang merumuskan landasan filosofis. Terkait dengan
sumber daya manusia, diperlukan orang-orang yang terlatih untuk menyebarluaskan cara
menilai suatu norma Perda sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila. Orang-orang
dimaksud perlu mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menguasai nilai-nilai Pancasila,
kebijakan publik, dan teknis peraturan secara sekaligus. Lebih jauh diperlukan upaya agar
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum tidak sebatas memiliki rumah hukum.
Mendedah Fais Yonas Bo’a (2018) bahwa ada 2 upaya untuk melakukannya yaitu
menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum positif dan mendudukan Pancasila
sebagai puncak peraturan perundang-undangan. Pertama, menjadikan Pancasila sebagai
suatu aliran hukum. Terbentuknya suatu aliran hukum berawal dari adanya suatu pemikiran
tentang hukum ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan realitas dan kebutuhan
sosial masyarakat dalam suatu waktu dan wilayah tertentu. Pancasila layak sebagai aliran
hukum sebab rangkaian proses terbentuknya Pancasila sebagaimana dikemukakan
Soekarno pada 1 Juni 1945, disempurnakan oleh Panitia 9 yang menghasilkan
Mukadimmah/Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian, disempurnakan lagi dengan
mencoret 7 kata dalam rumusan sila pertama dan ditetapkan secara final pada 18
Agustus 1945. Rangkaian proses ini sudah menunjukkan Pancasila layak sebagai suatu
aliran pemikiran. Begitu pula secara prinsip relevansi atau kesesuaian dengan kebutuhan,
Pancasila sudah memenuhinya. Kedua, mendudukan Pancasila sebagai puncak hirarki
peraturan perundang-undangan. Pancasila dalam sistem hirarki perundang-undangan,
selama ini kerap terpelihara suatu pandangan yang tidak produktif bahwa Pancasila tidak etis
dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan karena Pancasila merupakan dasar
negara sudah menjadi sumber tertib hukum. Jika merujuk pada stufenbau theory Hans
Kelsen yang mengharuskan puncak hirarki norma adalah norma dasar atau
grundnorm/staatfundamentalnorm maka Pancasila sebagai norma dasar seharusnya berada
dalam puncak tata urutan norma tersebut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak
mudah untuk dapat menginjeksi nilai-nilai Pancasila ke dalam Perda. Tantangan utama yang
dihadapi adalah bagaimana membumikan nilai abstrak di dalam Pancasila ke dalam nilai-nilai
konkret pasal-pasal Perda. Kesulitan lain adalah terbatasnya forum internalisasi dan advokasi
nilai-nilai Pancasila ke dalam rumusan Perda.
Kesulitan selanjutnya adalah mendapatkan sumber daya manusia yang memahami nilai-nilai
Pancasila, mengetahui ikhwal kebijakan publik. Mengutip Riant Nugroho (Ketua Umum
Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia) bahwa ada 3 syarat suatu kebijakan dapat disebut
sebagai kebijakan unggul, yaitu cerdas, dalam arti menyelesaikan masalah di inti masalah;
bijaksana, setidaknya kriteria bijaksana yang bisa dijadikan pegangan adalah adil,
berimbang, dan hati-hati; dan memberikan harapan kepada rakyat –bukan pemerintah atau
kekuasaan. Dalam konteks Perda pendidikan yang diskriminatif, kita mengalami
kenyataan bahwa kebijakan tersebut tidak masuk kategori kebijakan unggul. Kebijakan
adalah masalah keputusan akan pilihan, dan kemudian apa manfaat dari keputusan itu
kebaikan atau kemudaratan. Kebijakan publik yang unggul adalah hak warga negara.
Komentar
Posting Komentar