PENDAMPINGAN DESA UNTUK BERDESA MANDIRI
Penulis : Patriawati Narendra, S.KM, M.K.M
Hadirnya UU desa menjadi tonggak baru kebijakan bagi desa. Bila selama ini, desa
menjadi arena pertarungan kebijkan dan hanya sebagai objek, maka UU desa membawah
perubahan mendasar: pertama masyarakat desa diposisikan sebagai subjek pembangunan
aktif, emansipasi, dan partisipasi; kedua hadirnya program pedampingan desa pada masa
transisi, ketiga peneguhan dan penjelasan posisi desa dalam sistem pemerintahan. Tulisan
ini akan secara lebih khusus menguraikan soal pedampingan desa.
Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa dimaksudkan membangun Indonesia dari
pinggiran. Tujuannya adalah mewujudkan desa yang mandiri, maju, dan demokratis. Oleh
karena itu, dibutuhkan perencanaan, monitoring, dan evaluasi yang sistematis, konsisten, dan
berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.
Disini pendampingan menjadi urgent. Belajar dari masa lalu bahwa salah satu sebab
gagalnya pembangunan di desa karena tidak adanya sumberdaya manusia yang mengawal
dan mengarahkan jalannya pembangunan berbasis potensi desa. Namun, perlu diingat juga
berbagai prasyarat internal maupun eksternal desa harus dipenuhi terlebih dahulu untuk
mencapai tujuan tersebut.
Para pedamping desa, tidak hanya menjalankan amanah UU desa, juga mengawal
perubahan desa menuju desa mandiri dan inovatif. Merujuk pada Permendes No 3 Tahun
2015 tentang Pendampingan Desa yang dimaksud dengan pendampingan desa adalah
kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan
fasilitasi desa. UU desa memberikan amanat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam implementasi, termasuk
pemberdayaan masyarakat. Khusus untuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan pembangunan desa
dan kawasan perdesaan sesuai dengan pasal 112 ayat 4. Artinya merujuk UU desa,
pendampingan desa memberikan penekanan pada aspek: pemberdayaan masyarakat,
pemerintah desa, dan institusi asli; melakukan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah
baik provinisi maupun kabupaten.
Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2015, pada Bab VII Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaaan, Pasal 128-131, secara ekplisit terkait pendampingan
masyarakat desa memberikan mandat bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memiliki
tugas menyelenggarkan pemberdayaan masyarakat desa melalui pedampingan secara
berjenjang sesuai dengan kebutuhannya.
Secara praktik lapangan, pendampingan desa dilakukan oleh SKPD kabupaten dan dapat
dibantu oleh tenaga pedamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat, serta pihak
ketiga. Untuk tenaga profesional sendiri terdiri dari: pedamping desa (PD), pedamping teknis
(PT), dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat (TAPM). Pedamping profesional tersebut
disyaratkan wajib untuk memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pedamping di bidang
ekonomi, sosial, budaya, dan teknik.
Berdasarkan Permendes No 3 Tahun 2015 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 bahwa
tujuan pendampingan desa meliputi: meningkatkan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas
pemerintahan desa dan pembangunan desa, meningkatkan prakarsa, kesadaran, dan
pasrtisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif, meningkatkan
sinergi program pembangunan antar aktor; dan mengoptimalkan aset lokal desa secara
emansipatoris.
Tenaga Pedamping Profesional Desa Merujuk Permendes No 3 Tahun 2015 Pasal 5 bahwa
pendamping profesional desa terdiri dari: pendamping desa, pendamping teknis, dan tenaga
ahli pemberdayaan masyarakat. Formasi tenaga pendamping profesional desa tersebut
memiliki peran, kedudukan, dan tupoksi masing-masing. Namun, sinergitas dan kolaborasi
dari ketiganya menjadi poin utama untuk mewujudkan desa mandiri, maju, kuat, dan
demokratis.
Pendamping Desa berkududukan di kecamatan dengan tugas mendampingi desa dalam
penyelenggaraan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Tugas pendampingan desa sesuai pasal 12 Permedes No 3 tahun 2015 terdiri atas:
medampingi desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap
pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, mendampingi desa dalam
melaksanakan pengolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa,
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana
prasarana desa, dan pemberdayaan masyarakat desa, elakukan peningkatan kapasitas bagi
pemerintahan desa, lembaga kemasyarakatan desa dalam hal pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa, melakukan pengorganisasian didalam kelompok-kelompok
masyarakat desa, melakukan peningkatan kapasitas bagi kader pemberdayaan masyarakat
desa dan mendorong terciptanya kader-kader pembangunan desa yang baru, mendampingi
desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara partisipatif; dan melakukan koordinasi
pendampingan ditingkat kecamatan dan memfasilitasi layanan pelaksanaan pendampingan
oleh Camat kepada pemerintah kapupaten. Pendamping Teknis berkedudukan di Kapubaten,
merujuk pasal 13 dan 14 Permendes No 3 Tahun 2015 tugas pendamping teknis desa adalah
mendampingi desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral yang meliputi:
pedampingan teknis membantu pemerintah daerah dalam hal sinergitas perencanaan
pembangunan desa, pendampingan teknis mendampingi pemerintah daerah melakukan
koordinasi perencanaan pembangunan daerah yang terkait dengan desa, melakukan fasilitasi
kerja sama desa dan pihak ketiga terkait pembangunan desa.
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat berkedudukan di pusat dan provinsi, merujuk
pasal 15-17 Permendes No 3 Tahun 2015 bahwa tugas utama tenaga ahli pemberdayaan
masyarakat mencakup bantuan kehalian teknis bidang menejemen, kajian, keuangan,
pelatihan, dan peningkatan kapasitas, kaderisasi, infrastruktur perdesaan, dan regulasi. Selain
itu pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal
teknis pemberdayaan masyarakat dapat di bantu oleh tenaga ahli pemberdayaan masyarakat.
Menuju Desa Mandiri.
Pembangunan desa masa orde baru dengan membuat standarisasi tatanan kehidupan
desa justru berdampak secara signifikan membawah perubahan, terkhusus mobilitas fisik dan
sosial orang desa. Namun, konsep semcam ini tidak berdampak pada transformasi desa,
sebab tidak memperkuat kelembagaan dan ekonomi desa, justru melemahkan kelembagaan
dan ekonomi desa. UU Desa hadir salah satunya untuk memperbaiki kekeliruan tersebut,
berupaya merubah konsep pemabngunan desa. Harapannya agar geliat berdesa dapat
tumbuh dan berkembang berdasarkan potensi dan sumber daya lokal.
Melihat beragamnya kondisi latar belakang desa yang ada di Indonesia maka diperlukan
program dan kebijakan untuk mengakomadasinya. Maka tersusunlah kategorisasi desa
menjadi desa sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju, dan mandiri yang menjadi
dasar tahap perkembangan desa serta berimplikasi pada pemberian program dan bantuan
secara bertahap sampai mencapai kategori desa mandiri. Merujuk pada konsep
pedampingan desa maka terformulasi pada model pedampingan desa asimetris. Program ini
memberi kewenangan rekrutmen dan penempatan pendamping pada kabupaten/kota melalui
SKPD yang bertanggungjawab mengurus pemberdayaan masyarakat desa (BPMPD). Pada
kenyatannya, kabupaten lebih mengetahui dan memahami kondisi desa di daeranya. Dengan
pertimbangan beragamnya latar belakang desa dan kesenjangan kapasitas sehingga
diharapkan model pedampingan seperti ini dapat lebih efektif dan mendorong percepatan
pertumbuhan desa (IRE, 2017).
Untuk sampai pada desa mandiri, beberapa strategi yang mutlak dibutuhkan. Pertama,
pembangunan kapasitas dan organisasi masyarakat desa yang kritis dan dinamis, yang dapat
dilakukan dengan beberapa langkah: melakukan assetment dan pemetaan kapasitas
organisasi, mengorganisasi dan memfasilitasi proses penguatan kapasitas organisasi
melalui penyelenggaraan program/kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas
organisasi dan pelibatan organisasi kemasyarakatan desa dalam proses pengambilan
kebijakan publik pemerintah desa. Kedua, memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi
dinamis antar organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Ketiga,
membangun sistem perencanaan dan penganggaran desa secara partisipatif.
Pada akhirnya konsep desa mandiri, maju, dan demokratis menjadi tujuan dari kebijkan
dan program desa. Upaya perwujudan konsep tersebut, diawali dengan pedampingan desa.
Mekanisme ini diharapkan menjadi pendorong penguatan kapasitas desa dalam
perencanaan, pengimplemntasian, dan monitoring pembangunannya. Sinergi berbagai pihak
baik pemerintah,pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat menjadi pondasi awal
untuk mencapai berdesa yang mandiri.
Komentar
Posting Komentar