MERAJUT KEBHINEKAAN


Penulis : Patriawati Narendra, S.K.M., M.K.M

Bangsa Indonesia unik (baca; istimewa) dan mungkin tidak ada bangsa bangsa lain

di dunia ini seperti kita. Indonesia yang majemuk – plural adalah anugerah dari Tuhan Yang

Maha Esa (TYME) yang wajib disyukuri. Oleh karenanya, sejak awal para founding fathers

menyadari betul dan merumuskannya dengan apik bahwa sendi utama masyarakat

Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika dimana kita berbeda-beda keyakinan (iman), ras, etnis

atau golongan, bahasa namun bisa bersatu, bermusyawarah, dan bergotong royong dalam

mewujudkan cita-cita bersama: Indonesia yang merdeka, adil, dan beradab. Semuanya itu

bisa berjalan karena ada semangat toleransi yang tinggi, saling menghargai dan

menghormati perbedaan-perbedaan.


Perbedaan itu ibarat pelangi, ia berbeda warna, namun dapat bersanding dan

beriringan dalam satu ruang yang sama. Pelangi bukan hanya soal estetika yang sangat

indah dipandang. Ada makna filosofi yang bisa dijadikan pelajaran bagi bangsa majemuk –

plural seperti kita.


Bahwa kita berbeda sejak dari sononya, warna kulit, budaya, dan sebagainya bukan

menjadi alasan pembenar untuk terjadinya perpecahan. Ucapan ‘kami lebih baik dan kalian

lebih buruk atau jahat’ atau ‘kami lebih unggul sedangkan kalian lebih lemah’ tidak

sepatutnya terjadi. Segala perbedaan adalah kekayaan, ia warna kehidupan yang jika

dikelola dengan baik akan indah seperti pelangi.


Dalam perjalanannya sejak 1945 – sekarang, terjadi pasang surut kebhinekaan, terjadi

dinamika yang bahkan diluar akal sehat seperti konflik sosial yang berdarah-darah. Tak

sampai disitu, kebebasan mendirikan rumah ibadah untuk agama tertentu juga masih

mengalami ketidakadilan. Mereka di haling-halangi bahkan tak jarang berakhir chaos. Belum

lagi masalah rasialisme yang menimpa sebagian saudara kita seperti di Papua juga masih

terus terjadi dan bahkan pelaku rasial itu dilakukan oleh orang terdidik.


Semuanya itu, terjadi karena pemahaman dan implementasi yang lemah dari nilai-nilai

yang bersumber dari Bhinneka Tunggal Ika seperti toleransi, keadilan, dan gotong royong.

Dan ini bukan hanya terjadi di level masyarakat, namun juga terjadi dikalangan elit. Nilai-

nilai ini kehilangan khasiatnya sebagai perekat kebhinnekaan. Dalam politik misalnya, terjadi

penguatan politik identitas berbasis agama yang bersifat partisan, telah mengancam

integrasi sosial sebagaimana terjadi di Pilkada DKI Tahun 2017 dan semakin eskalatif pada

Pilpres 2019. Hal lain, politik suap bersanding dengan demokrasi semakin mewabah

di berbagai sektor dari pusat sampai pelosok desa.


Lunturnya nilai – nilai tersebut disebapkan faktor internal dan eksternal. Globalisasi

ditengarai sebagai penyebap dari persoalan kita dewasa ini seperti budaya konsumerisme,

hedonisme dan individualisme. Namun tak elok rasanya mengkambinghitamkan globalisasi

(faktor eksternal) sebagai lunturnya nilai-nilai kebhinekaan. Sebagaimana kata bijak, bahwa

dalam tubuh manusia yang lemah atau sakit akan sangat mudah terserang penyakit.


Dalam pandangan Franz Magnis Suseno konsensus dasar nilai-nilai kebangsaan kita

masih ada, cuma ada tantangan dan ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama,

pragmatisme konsumeristik, terutama pemuda yang semata-mata berusaha untuk bisa

masuk kedalam kalangan yang hidup dengan gaya globalisasi. Kedua, korupsi, ‘pembusukan

dari segala dimensi’. Menurut Magnis Suseno kalau ini tidak berhasil di atasi, bangsa ini akan

menghadapi persoalan yang serius. Ketiga, ideologi agamis yang eksklusif, nilai-nilai

kebangsaan justru begitu penting karena mempersatukan komunitas-komunitas dari

budaya, etnik, agama yang berbeda. Dengan demikian, kebangsaan itu berada di antara

orang-orang yang berbeda agama dan etnis (bhineka tunggal ika) yang kemudian menjadi

satu. Inilah yang dalam sumpah pemuda tahun 1928 diikrarkan: satu tanah air, satu bangsa,

dan satu bahasa yaitu Indonesia.


Sebagai negara bangsa kita harus jujur bahwa ada persoalan dalam internal

bangsa ini. Apa itu? Kita tidak menjadikan Pancasila sebagai pegangan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal Pancasila adalah kunci persatuan bangsa

Indonesia. Kata Sukarno, nilai-nilai kebangsaan adalah jiwa yang mengandung kehendak

untuk bersatu dan hidup bersama, sedangkan bangsa adalah masyarakat dengan kesatuan

spirit dan karakter.


Memaknai Kebhinekaan

Terlepas dari masih ada gesekan, namun kerukunan sosial yang sudah kita nikmati

salama ini adalah sesuatu yang bukan taken for granted. Kerukunan tersebut adalah usaha

yang dilakukan oleh setia orang, lembaga pemerintah dan non pemerintah (multi pihak)

dalam menjaga persatuan bangsa dengan cara menghormati atau menghargai perbedaan.

Dengan demikian, kebhinekaan yang ada telah, sedang, dan akan terus dijaga. Selain itu

tentu penyesuain-penyesuaian harus dilakukan ditengah zaman yang terus berubah dan

dinamika globalisasi.


Disinilah pentingnya Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar falsafah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia dan bukan

sekedar rangkaian kata-kata yang indah tetapi harus diejawantahkan dalam berbagai laku

hidup berbangsa dan bernegara, menjadi pegangan dari pejabat negara sampai warga

negara biasa.


Oleh sebab itu, Pancasila harus diaktualisasikan dalam kehidupan kita. Menurut

Kaelan mengatakan  aktualisasi Pancasila terbagi atas dua macam. Pertama, aktualisasi

objektif yaitu aktualisasi Pancasila dalam berbagai segi kehidupan kenegaraan yang meliputi

lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang

aktualisasi lain seperti politik, ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran kedalam undang-

undang, pendidikan, dan sebagainya. Kedua, aktualisasi subjektif yaitu aktualisasi pancasila

pada setiap individu terutama dalam aspek moral yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat dan negara. Aktualisasi subjektif tidak terkecuali baik warga negara biasa,

penyelenggara negara, penguasa negara terutama elit politik dalam kegiatan politik harus

mawas diri agar memiliki moral Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan.


Hanya dengan seperti itu kesetaraan dalam masyarakat multicultural akan tercapai.

Kita berbeda namun harus diperlakukan sama misalnya dihadapan hukum, akses pada

pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Inilah dasar utama untuk terwujudnya

persatuan bangsa sehingga tercipta harmoni kehidupan dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia.


Disini memahami kodrat manusia dan memperlakukan budayanya menjadi sangat vital

untuk dipahami penyelenggara negara. Meminjam pendapat Bhikhu Parekh  bahwa manusia

adalah makhluk kodrati dan sekaligus kultural, semua mempunyai identitas kemanusiaan

umum tetapi berada dalam tingkah yang dimediasikan secara kultural. Mereka sama dan

berbeda, kesamaan dan perbedaan mereka tidak koeksisten secara pasif tetapi salaing

menembus dan semuanya tidak mendahului secara ontologis maupun secara moral. Kita

tidak dapat mendasarkan keseteraan dalam keseragaman manusia karena menurut Parekh

keseragaman tidak terpisahkan dan secara ontologis tidak lebih penting dari keberadaan

manusia. Membumikan kesetaraan dalam keseragaman juga juga mengandung konsekuensi

yang tidak menguntungkan. Dasar ini menuntut penyelenggara negara untuk

memperlakukan manusia dengan setara dalam penghormatan dimana mereka serupa

dengan kita dan bukan dalam hal dimana mereka berbeda dengan kita.

Kesetaraan dapat diartikulasikan dengan level yang saling terkait. Level paling dasar,

kesetaraan melibatkan penghargaan dan hak, pada level sedikit lebih tinggi melibatkan

kesempatan, kepercayaa diri, harga diri, dan lainnya, dan pada level yang lebih tinggi lagi

kesetaraan melibatkan kekuasaan, kesejahteraan dan kemampuan dasar yang diperlukan

untuk pengembangan manusia. Inilah isu utama yang harus di perhatikan dalam menjaga

kebhinekaan Indonesia. Tentu pendapat Parekh tersebut jika dikontekskan dengan

perkembangan zaman dan situasi Indonesia terkini maka menjadi lebih kompleks.


Isu Strategis Menjaga Kebhinekaan

Perjalanan suatu negara pasti akan disertai dinamika, kedepan ini akan ada banyak isu

strategis yang patut di perhatikan dalam rangka menjaga kebhinekaan kita. Pertama, isu

ketimpangan ekonomi. Mengutip As’ad Said Ali  bahwa ketimpangan ekonomi tidak bisa

dianggap remeh sebab jika berlarut-larut bisa menjadi pemicu sentiment rasial dan

golongan. Apalagi jika ada campur tangan dari luar (negara lain). Ini harus segera di

pecahkan. Hemat penulis, solusi berupa kebijakan program untuk memperkecil gap

kesejangangan atau kalau perlu menghapusnya secara total dengan cara

mengimplementasikan secara total amanat Pasal 33 UUD 1945.


Kedua, hoaks berbau sara. Mengingat arus informasi melalui teknologi digital sangat

massif dan saat yang sama filter masyarakat atas informasi juga rendah maka ini bisa

memicu chaos jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Jangka pendek penting bagi

pemerintah menjalankan penegakan hukum demi keadilan (pro justitia) dan politik

antisipatif dengan melibatkan ormas keagamaan dan pemuka agama, lembaga adat dan

tokoh adat, tokoh pemuda dan elemen lainnya yang relevan. Jangka panjang pemerintah

harus mendesain sistem dan kurikulum sosialisasi dan pendidikan Pancasila secara

menyeluruh dengan prinsip kesetaraan dan menjunjung tinggi Hak Asasi setiap warga

negara.


Sosialisasi bisa dilakukan mulai dari level RT/RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan dan

seterusnya sampai level pusat. Adapun pendidikan, pembelajaran Pancasila harus dimulai

dan dimasifkan sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Bahkan sejak Pendidikan Usia Dini nilai-

nilai kebhinekaan sudah harus di perkenalkan dengan cara-cara yang disesuaikan dengan

usia anak. Misalnya melalui games, menjaga lingkungan dan sebagainya. Disini diperlukan

revitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila.


Ketiga, kompatibiltas sistem sosial budaya dalam menyerap hal-hal baru terutama

yang datang dari negara lain. Akulturasi budaya terutama dikalangan anak-anak muda disatu

sisi baik namun berpotensi pula membawa dampak negatif. Contoh, bagaimana akhir-akhir

ini isu menikah sesama jenis sudah menjadi trend bahkan agenda global. Ini patut

diwaspadai, harus diletakan secara proporsional antara pemenuhan hak individu dan hak

kolektif dalam sistem sosial budaya bangsa kita yang tidak mengenal pernikahan sesama

jenis. Oleh karena itu, kita toleran terhadap kemerdekaan setiap individu namun untuk hal

sensitive seperti ini harus hati-hati, agar kebhinekaan kita terus terpupuk dan terjaga

dengan baik.


Keempat, membumikan Pancasila terutama di kalangan generasi muda. Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pemuda adalah Warga Negara

Indonesia (WNI) yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Data Badan

Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan jumlah pemuda dalam rentang usia 16-30

tahun sebesar 64,92 juta (24%) dari total penduduk Indonesia 270.03 juta. Angka ini

menunjukan jumlah populasi pemuda cukup besar. Dengan demikian, pemuda memiliki

peran strategis dalam menjaga kebhinekaan kita.


Dengan demikian, menemukenali karakter generasi muda Indonesia agar mampu

memahami spirit kebangsaan dan nilai-nilai kebangsaan memerlukan pemetaan dan metode

sosialisasi penguatan nilai-nilai kebangsaan yang tepat. Perlu dipahami bahwa nilai dasar

kebangsaan itu statis sedangkan nilai instrumental harus terus bergerak, kreatif dan inovatif

sebagai pendorong semangat kebangsaan dan nilai praktis yang dapat disesuaikan dengan

konteks zaman.


Jika ini dilalui dengan baik, maka semangat kegotongroyongan sebagai saripati

Pancasila akan terpatri dalam setiap diri anak muda Indonesia. Mereka bisa saling

bergandengan tangann menjaga NKRI dan berkontribusi dalam pembangunan nasional

untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Republik ini hadir untuk

melindungi, mensejahterkan, dan mencerdaskan rakyatnya dan berperan serta dalam

pergaulan internasional.


Tentu masih banyak isu lain, tetapi apapun isu itu, para pendiri negara ini sudah

berikhtiar agar semangat kebhinekaan menjadi modal sosial untuk membangun Indonesia,

mulai dari membangun manusia, membangun ekonomi dan seterusnya. Intinya setiap warga

negara ingin diperlakukan sama, ada kesetaraan seperti akses pendidikan, ekoonomi, dan

sebagainya. Oleh karenanya, nilai-nilai kebangsaan harus dijaga dengan kuat dan sampai

kapan pun. Jalur yang bisa ditempuh adalah melalui pendidikan, politik kemanusiaan, dan

penegakan hukum. Bangsa ini tidak boleh kalah atau takluk oleh sekelompok orang. Oleh

karenanya, penyelenggara negara tidak boleh lemah atu tidak berpendirian, harus tegas

kepada pengrongrong kebhinekaan kita.


Disini politik hukum harus kompatibel dengan kebijakan ekonomi nasional. Mengingat

antar wilayah (pulau) di Indonesia, antar daerah (provinsi/kabupaten) masih terjadi

ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Guna menghadapi ragam persoalan dan tantangan yang makin kompleks di masa

mendatang, maka Pancasila harus membumi, disini penulis meminjam istilah Yudi Latif

Pancasila harus di revolusi, dikontekstualisasikan dengan zaman. Hanya dengan seperti itu

Pancasila hidup dan terus menjadi penjaga kebhinekaan bangsa ini.


Kesimpulan

Pada akhirnya, persatuan dan keberagaman harus jalan beriringan. Hanya dengan

kebersamaan itu prakondisi atau prasyarat yang dibutuhkan agar suatu keberagaman

berfungsi (positif). Lebih jauh lagi, diperlukan keadilan agar kebersamaan (gotong royong)

mampu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana dikatakan Plato bahwa keadilan merupakan kebajikan utama dan karena

sedemikian utamanya sehingga dalam keadilan terkandung semua kebajikan. John Rawls 

menyebut bahwa keadilan memiliki dua prinsip. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua

orang. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan politik (dipilih dan memilih),

kebebasan berpikir, berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari

penangkapan sewenang-wenang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur

sehingga diharapkan dapat memberi kesempatan bagi semua orang dan semua posisi

jabatan terbuka bagi semua orang. Bukankah seperti penulis sebutkan diawal tadi bahwa

persoalan ketimpangan ekonomi bisa memicu konflik sosial. Semoga kebhinekaan kita

menjadi anugrah terindah.


Pustaka Acuan

Ali, As’ad Said. 2019. Islam, Pancasila, dan Kerukunan Berbangsa. Depok: LP3ES

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila (edisi reformasi). Yogyakarta: Paradigma

Parekh Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

Yogyakarta: Kanisius

Rawls, John. 2006. A Theory of Justice (edisi Indonesia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KECERDASAN DAN MINDSET PEMIMPIN MEMPENGARUHI KEMAJUAN NEGARA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

MARI BELAJAR DARI GENERAL ELECTRIC

REPUBLICA DEMOCRATICA de TIMOR LESTE